Mengerjap, lagi
dan lagi. Kutarik nafas dan langsung kubuang kembali. Tarik lagi, buang lagi.
Mungkin kepala ini sedang kosong, namun kalau begitu apa ini yang sedang ingin
kutulis? Tak banyak yang sedang kufikirkan, mungkin hanya lamunan di sore hari.
Sendiri disini membuatku tersadar. Ada apa denganku? Rasanya ini pertanyaan
yang cukup sulit, mengingat seperti yang kubilang sebelumnya pikiran ini sedang
kosong. Secara logika tidak mungkin kita menarik sesuatu yang tidak ada pada
tempatnya.
Aku merasa
diriku sama seperti seekor binatang. Aku berfikir namun tak tahu apa yang
kufikirkan. Pada titik ini, mungkin aku bisa disamakan dengan seekor kera atau
bahkan setitik semut yang kulihat berjalan diatas meja. Ah aku mulai meracau,
kembali ke titik pokok permasalahan, ada apa denganku?
Sulit sekali
rasanya mendefinisikan perasaan. Kemampuanku yang satu ini bisa dibilang
dibawah rata-rata. Aku bahkan tidak bisa menentukan apa aku seorang yang
berfikir positif atau bahkan sebaliknya. Ketika aku mencoba menanyakan hal
tersebut ke seseorang yang cukup mengenalku, jawabannya membuatku tersadar ‘Bukan
keduanya lin, kamu bukan optimistic
ataupun pesimistic tapi kamu adalah
seorang yang realistic’. Ya betul,
logika (memang) kutempatkan diatas segalanya. Apakah itu adalah suatu
kesalahan?
Kuakui, hal ini
menjawab berbagai pertanyaan yang sebelumnya berkecambuk di kepalaku. Pertanyaan
kecil seperti alasan dari caraku menjawab pertanyaan, berpenampilan, bersikap,
hingga hal besar seperti alasan dari setiap keputusan yang kuambil dan jalan
yang kupilih dalam hidup. Hal ini menjelaskan ‘caraku’ mengendalikan
kehidupanku. Semuanya harus (dan mungkin hanya) berdasarkan fakta dan logika.
Mungkin kau
akan berkata bahwa ini adalah hal baik yang tidak perlu dikhawatirkan. Dan memang
aku tidak pernah khawatir. Hanya saja, menjadi terlalu realistik membuatku
tidak punya banyak impian karena tidak ‘ingin’ berusaha mencapai apa yang
kurasa tak mampu kucapai. Tak berani mengambil resiko, hanya ingin berdiri di
zona aman. Menetapkan target yang tidak terlalu tinggi, hanya agar aku yakin
aku mampu melampauinya. Tapi ini bukan berarti aku pesimis dan berfikir
negatif. Justru aku menjadi lalai, tak takut akan segala risiko yang ada. Aku
menjadi lalai karena menurut pertimbanganku, apa yang kulakukan masuk diakal
dan angka kegagalannya cukup rendah. Kalaupun ternyata aku gagal, aku merasa
tidak akan pernah terlalu terpuruk karena tak banyak yang kupertaruhkan mengingat
standarku tidak terlalu tinggi. Nyaman bukan?
Kenyamanan ini
terkadang membutakanku. Sekali lagi, lalai dan lalai. Aku menjalani hidupku
terlalu santai. Usahaku tak pernah sekeras seharusnya karena aku tidak memiliki
ketakutan akan kegagalan. Sehingga jarang sekali aku berhasil mencapai apa yang
mungkin sebenenarnya dapat kucapai. Kecenderunganku hanya menerima ketimbang
mencari sendiri, hanya berusaha dan bukan bersungguh-sungguh. Wajar saja banyak
hal yang kuinginkan tapi tak pernah kudapatkan. Bahkan pengambilan keputusan untuk
hal-hal yang seharusnya kulibatkan perasaan didalamnya seperti profesi, cita-cita,
cara bersikap dan bahkan urusan jodoh kurasa kupilih secara realistis. Inilah
fikiranku, isi kepalaku, diriku ♥
˚◦°•lsqs•°◦˚
No comments:
Post a Comment